KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN - MAKALAH

KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN

I.              PENDAHULUAN
A.           Latar belakang
Maraknya tindakan kejahatan dan kekerasan di negeri kita, sangatlah mencengangkan, baik di masyarakat luar, di tengah-tengah keluarga, bahkan dalam dunia pendidikan, seperti kekerasan di sekolah.
Kekerasan di sekolah dapat dilakukan oleh siapa saja, dari kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan ataupun antar siswa. Kekerasan pada siswa belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa. 
Kekerasan antar siswa juga kerap terjadi yaitu berupa bullying yang merupakan perilaku agresif dan menekan dari seseorang yang lebih dominan terhadap orang yang lebih lemah, dimana seorang siswa atau lebih secara terus-menerus melakukan tindakan yang menyebabkan siswa lain menderita. Kekerasan yang terjadi dapat berupa kekerasan fisik seperti memukul, menendang, menjambak dan lain-lain. Selain bullying, kekerasan antar siswa yang sering terjadi adalah tawuran. Tawuran  mengakibatkan terjadinya perubahan sosial yang mengakibatkan norma-norma menjadi terabaikan dan mengakibatkan perubahan aspek hubungan sosial dalam masyarakat.
Maka kekerasan dalam pendidikan diperlukan adanya perhatian dari semua pihak terkait agar dapat terkendali, bahkan dapat dibasmi.
B.            Rumusan masalah
1.    Pengertian Kekerasan
2.    Bentuk-bentuk kekerasan
3.    Kekerasan ditinjau dari landasan hukum pendidikan
4.    Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan di pendidikan




II.      PEMBAHASAN                  
A.           Pengertian kekerasan
Kekerasan, menurut kamus besar bahasa Indonesia, berarti berciri keras terhadap perbuatan seorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain dan bias terjadi dengan paksaan.[1] Dalam bahasa Inggris, yang lebih lazim dipakai orang Indonesia, disebut ”violence”. Istilah violence berasal dari dua kata bahasa Latin : vis yang berarti daya atau kekuatan; dan latus (bentuk perfektum dari kata kerja ferre) yang berarti (telah) membawa. Maka secara harafiah, violence berarti membawa kekuatan, daya, dan paksaan.
Secara istrilah, menurut R. Audi, kekerasan dilukiskan sebagai serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang, atau serangan, penghancuran, pengrusakan yang sangat keras, kasar, kejam, dan ganas atas milik atau sesuatu yang sangat potensial dapat menjadi milik seseorang.
Kempe, dkk (1962) dalam Soetjiningsih (2005) memberikan pengertian kekerasan terhadap anak adalah timbulnya perlakuan yang salah secara fisik yang ekstrem kepada anak-anak.
Sementara Delsboro (dalam Soetjiningsih, 1995) menyebutkan bahwa seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Jadi, kekerasan merupakan bentuk perilaku salah terhadap fisik atau psikis yang dapat berpengaruh tidak baik.
B.            Bentuk – bentuk Kekerasan
Kekerasan di sekolah atau dilingkungan pendidikan dapat dilakukan oleh siapa saja, dari kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan ataupun antar siswa. Kekerasan pada siswa belakangan ini terjadi dengan dalih mendisiplinkan siswa dan tidak jarang budaya dijadikan alasan membungkus kekerasan terhadap anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan kepala sekolah, guru, Pembina sekolah, karyawan antara lain memukul dengan tangan kosong, atau benda tumpul, melempar dengan penghapus, mencubit, menampar, mencekik, menyundut rokok, memarahai dengan ancaman kekerasan, menghukum berdiri dengan satu kaki di depan kelas, berlari mengelilingi lapangan, menjemur murid di lapangan, pelecehan seksual dan pembujukan persetubuhan.[2]
Berbagai bentuk kekerasan di dalam pendidikan biasanya dilakukan terhadap anak yang menjadi siswa di lembaga pendidikan atau sekolah, terbukti banyaknya kasus-kasus kekerasan anak di lingkungan pendidikan. Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan salah secara fisik, dan/atau emosional, penganiayaan seksual, penelantaran, atau eksploitasi secara komersial atau lainnya yang mengakibatkan gangguan nyata ataupun potensial terhadap perkembangan, kesehatan, dan kelangsungan hidup anak ataupun terhadap martabatnya dalam konteks hubungan yang bertanggungjawab, kepercayaan, atau kekuasaan.[3] Ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana kekerasan pada anak dalam UU Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:
1.      diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan  anak  mengalami kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
2.      penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk, mental, maupun social (Pasal 77);
3.       membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam, dan/atau dalam situasi konflik bersengjata (Pasal 78);
4.      membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memrlukan pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
5.      melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
6.       melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81);
7.      melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
8.       memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal 83);
9.      membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau serangkaian kebohongan (Pasal 86);
10.  mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain (Pasal 88).[4]
Beberapa bentuk kekerasan terhadap anak juga dapat terjadi di lingkungan pendidikan, terbukti dengan maraknya kekerasan terhadap anak diusia sekolah, seperti contoh kasus kekerasan seksual:
Kasus pemerkosaan hingga tewas yang menimpa pelajar SMP bernama Yuyun di Bengkulu mengundang keprihatinan mendalam. Bagaimana tidak, selain korban masih bocah, kejahatan tragis tersebut dilakukan secara beramai-ramai oleh 14 orang. Kian memprihatinkan karena sebagian besar pelaku adalah remaja.[5]
            Sebagai pelaku pendidikan kasus tersebut sangat mengerikan, apa lagi dilakukan dengan secara tragis seperti itu, kasus ini membuat kita untuk tetap waspada dan berhati-hati serta terus mengawasi setiap perkembangan anak.

C.           Kekerasan ditinjau dari landasan hukum pendidikan
          Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan:
1)      Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
2)      Pasal  4 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi  hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukkan bangsa.[6]
3)  Tentang kekerasan fisik, pada pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai berikut:
(1)   Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
(2)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)   Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4)   Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.[7]
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa siswa wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”(UU Perlindungan Anak).
Maka dengan adanya peraturan dan perundang – undangan seperti diatas, bahwa semua bentuk kekerasan di dalam dunia pendidikan itu dilarang. Karena kekerasan merusak hak asasi manusia, yang dalam masalah ini adalah hak sebagai siswa di sekolah yang sepatutnya mendapatkan kasih sayang, bimbingan, serta arahan dalam menuntut ilmu, bukanya mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan, apa lagi kekerasan.

D.           Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan di pendidikan
Ada beberapa solusi yang dapat dilakukan dalam mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah, yaitu:
aBagi Sekolah
1.      Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di sekolah. Pendidikan tanpa kekerasan adalah suatu pendidikan yang ditujukan pada anak dengan mengatakan "tidak" pada kekerasan dan menentang segala bentuk kekerasan. Hukuman yang diberikan, berkorelasi dengan tindakan anak. Ada sebab ada akibat, ada kesalahan dan ada konsekuensi tanggung jawabnya. Dengan menerapkan hukuman yang selaras dengan konsekuensi logis tindakan siswa yang dianggap keliru, sudah mencegah pemilihan / tindakan hukuman yang tidak rasional.
2.      Sekolah terus mengembangkan dan membekali guru baik dengan wawasan / pengetahuan, kesempatan untuk punya pengalaman baru, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas mereka. Guru juga membutuhkan aktualisasi diri, tidak hanya dalam bentuk materi, status, dsb. Guru juga senang jika diberi kesempatan untuk menuangkan aspirasi, kreativitas dan mencoba mengembangkan metode pengajaran yang menarik tanpa keluar dari prinsip dan nilai-nilai pendidikan. Selain itu, sekolah juga bisa memberikan pendidikan psikologi pada para guru untuk memahami perkembangan anak serta dinamika kejiwaan secara umum. Dengan pendekatan psikologi, diharapkan guru dapat menemukan cara yang lebih efektif dan sehat untuk menghadapi anak didik.
3.      Konseling. Bukan hanya siswa yang membutuhkan konseling, tapi guru pun mengalami masa-masa sulit yang membutuhkan dukungan, penguatan, atau pun bimbingan untuk menemukan jalan keluar yang terbaik.
4.      Segera memberikan pertolongan bagi siapapun yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah, dan menindaklanjuti kasus tersebut dengan cara adekuat.
b. Bagi Orangtua atau keluarga
1.        Perlu lebih berhati-hati dan penuh pertimbangan dalam memilihkan sekolah untuk anak-anaknya agar tidak mengalami kekerasan di sekolah.
2.        Menjalin komunikasi yang efektif dengan guru dan sesama orang tua murid untuk memantau perkembangan anaknya.
3.        Orangtua menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada dukungan daripada hukuman, agar anak-anaknya mampu bertanggung jawab secara sosial.
4.        Hindari tayangan televisi yang tidak mendidik, bahkan mengandung unsur kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan dalam film cenderung dikorelasikan dengan heroisme, kehebatan, kekuatan dan kekuasaan.
5.        Setiap masalah yang ada, sebaiknya dicari solusi / penyelesaiannya dan jangan sampai berlarut-larut. Kebiasaan menunda persoalan, menghindari konflik, malah membuat masalah jadi berlarut-larut dan menyita energy. Sikap terbuka satu sama lain dan saling mendukung, sangat diperlukan untuk menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
6.        Carilah bantuan pihak professional jika persoalan dalam rumah tangga, semakin menimbulkan tekanan hingga menyebabkan salah satu atau beberapa anggota keluarga mengalami hambatan dalam menjalankan kehidupan mereka sehari-hari.
c. Bagi siswa yang mengalami kekerasan
Segera sharing pada orangtua atau guru atau orang yang dapat dipercaya mengenai kekerasan yang dialaminya sehingga siswa tersebut segera mendapatkan pertolongan untuk pemulihan kondisi fisik dan psikisnya.[8]
Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak, baik guru, orang tua dan siswa untuk memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun semakin menambah masalah. Semoga pembahasan ini dapat bermanfaat dan mengurangi terjadinya kekerasan pada siswa. Perlu diingat, bahwa untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan kerjasama dari semua pihak.
Selain upaya-upaya psikologis yang diterapkan dan sanksi-sanksi pidan yang diberlakukan terhadap pelaku kekerasan terhadap anak di sekolah. Pemerintah juga menerapka sekolah ramah anak (SRA) yang keberadaan guru sangat berperan. Ada beberapa langkah menuju SRA, yaitu :
a.    Guru tidak mendudukkan dirinya sebagai penguasa kelas/mata pelajaran, tetapi sebagai pembimbing kelas
b.    Guru seharusnya mengurangi kelantangan suara dan lebih mengutamakan keramahtamahan suara
c.    Guru harus mengurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan menggantinya dengan ajakan.
d.    Hal-hal yang menekan siswa harus dikurangi sebanyak mungkin.
e.    Hal-hal yang menekan diganti dengan member motivasi sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, melainkan member stimulasi.
f.     Guru harus menjauhi sikap ingin menguasi siswa karena yang lebih baik adalah mengendalikan. Hal itu terungkap bukan dengan kata-kata mencela, melainkan dengan kata-kata yang membangun keberanian/kepercayaan diri siswa.
g.    Guru hendaknya menjauhkan diri dari mencari-cari kesalahan siswa, tetapi harus mengakui prestasi sekecil apa pun yang dihasilkan siswa.
h.    Guru harus lebih sering melibatkan siswa, dengan lebih sering berkata “aku mengajurkan/meminta, mari kalian ikut menentukan juga”. Guru seharusnya menghindari kata-kata “aku yang menentukan, kalian menurut saja apa perintahku”[9]
Pendidikan tanpa kekerasan harus dipenuhi dengan kesabaran dan memaafkan, serta disaat yang sama perlu gigih membantu. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka. Sasaran terakhir pada pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara pendidik sebagai orang tua bersama peserta didik yang damai dan adil.[10]
Jadi, kekerasan akan dapat dihindari apabila semua pihak terkait di dalam dunia pendidikan dapat memahami, mendidik anak bukan lewat kekerasan tetapi lewat kasih sayang, dan perhatian untuk menimbulkan suasana nyaman dalam proses pendidikan, dengan dudukung dari sfat dan sikap anak yang patuh dengan aturan.
III.        PENUTUP
A.           Simpulan
-          Kekerasan merupakan bentuk perilaku salah terhadap fisik atau psikis yang dapat berpengaruh tidak baik
-          Dengan adanya peraturan dan perundang – undangan seperti yang dibahas diatas, bahwa semua bentuk kekerasan di dalam dunia pendidikan itu dilarang. Karena kekerasan merusak hak asasi manusia, yang dalam masalah ini adalah hak sebagai siswa di sekolah yang sepatutnya mendapatkan kasih sayang, bimbingan, serta arahan dalam menuntut ilmu, bukanya mendapatkan perilaku yang kurang menyenangkan, apa lagi kekerasan.
-          Kekerasan akan dapat dihindari apabila semua pihak terkait di dalam dunia pendidikan dapat memahami, mendidik anak bukan lewat kekerasan tetapi lewat kasih saying, dan perhatian untuk menimbulkan suasana nyaman dalam proses pendidikan, dengan dudukung dari sfat dan sikap anak yang patuh dengan aturan.















Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka
Rika Saraswati, 2009,  Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti
UNICEF; 2002
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Koran Sindo online, Edisi 04-05-2016
UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3-4
UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 80
http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan
Rika Saraswati, Dkk, Safe School Dan Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah Menengah Di Kota Semarang, Laporan Penelitian, (Semarang : Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata)
Zainal Miftah, 2011, Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan dan Konseling, Surabaya : Gena Pratama Putaka



                  



[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002) hal 550
[2] Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, ( Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009) hal 142
[3]  UNICEF; 2002
[4] Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
[5] Koran Sindo online, Edisi 04-05-2016
[6] UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3-4
[7] UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 80
[8] http://www.e-psikologi.com/epsi/pendidikan
[9] Rika Saraswati, Dkk, Safe School Dan Kekerasan Berbasis Jender : Studi Eksploratif Di Sekolah Menengah Di Kota Semarang, Laporan Penelitian, (Semarang : Pusat Studi Wanita Unika Soegijapranata)
[10] Zainal Miftah, Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Bimbingan dan Konseling, ( Surabaya : Gena Pratama Putaka, 2011 ) 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN - MAKALAH"

Post a Comment